
Impian kaum profesional untuk menikmati keseimbangan yang lebih besar antara dunia kerja dan kehidupan pribadi
berantakan. Gara-gara krisis keuangan global, para pemimpin perusahaan memberikan tekanan kepada karyawan untuk
bekerja lebih lama dan lebih keras.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Association of Graduate Recruiters (AGR) di Inggris menemukan, separo karyawan dari
Generasi Y mengeluhkan manajer-manajer mereka yang kini mulai "melecutkan cambuk lebih keras". Akibatnya, mereka
merasa kurang memiliki waktu untuk kehidupan pribadi dan mempertimbangkan untuk keluar dari perusahaan.
Dari temuan tersebut, asosiasi menyerukan kepada segenap manajer untuk menahan diri dari buru-buru menciptakan "budaya
sengsara" dalam organisasi. Sebab, dalam jangka panjang hal itu bisa membuat para karyawan mencari kesempatan kerja di
tempat lain sesegera mungkin mereka bisa melakukannya.
Chief Executive pada AGR Carl Gilleard menegaskan, "Ketika banyak organisasi berada di bawah tekanan krisis finansial, salah
satu tantangan terbesar adalah tetap memberikan atau meniadakan pendekatan keseimbangan antara hidup dan kerja bagi
karyawan."
Survei terpisah yang dilakukan di Amerika Serikat sebulan sebelumnya menyimpulkan bahwa dalam kondisi krisis seperti saat
ini, karyawan bukannya terdorong untuk mempertahankan posisinya dalam perusahaan dan bekerja lebih keras. Melainkan,
sebaliknya, situasi yang sulit menurunkan tingkat loyalitas dan kepercayaan mereka pada perusahaan.
Oleh karenanya disarankan, seiring dengan kebijakan penambahan jam kerja, stres akan datang dan itu artinya para manajer
harus menjaga semangat dan motivasi para karyawan, khususnya jajaran top performer.
"Bagaimana pun, generasi lulusan baru sekarang ini tidak pernah mengalami situasi krisis ekonomi. Sehingga kebijakan
perusahaan yang diambil dalam iklim ekonomi sekarang harus mempertimbangkan kedua sisi, baik pengusaha maupun
angkatan kerja baru tersebut," ujar Gilleard.
Lebih jauh, laporan hasil penelitian tersebut mengidentifikasi adanya tiga tipe angkatan kerja Generasi Y. Pertama dan
terbanyak adalah kelompok "work hard, play hard", yang mendefinisikan "work-life balance" sebagai pemisahan yang tegas
antara kerja dan kehidupan mereka di luar pekerjaan. Mereka mementingkan perhitungan jam kerja yang jelas.
Kedua, kelompok yang disebut "worried and weary", yang melihat konsep "work-life balance" sebagai "selisih" antara jam
kerja dan kehidupan di rumah. Mereka sebenarnya tidak bekerja lebih dari jam normal, namun stres di kantor mempengaruhi
kehidupan di luar kerja. Mereka kebanyakan perempuan.
Ketiga, disebut kelompok "willing workaholics", yang mendominasi karakter kaum pekerja Gen Y terutama mereka yang lahir
setelah tahun 1982. Kelompok ini tidak masalah jika harus bekerja lebih keras dan dalam waktu yang lebih panjang, sejauh
masih memiliki pilihan dan kontrol untuk memutuskan bagiaman mengatur waktu mereka.
Gilleard mengungkapkan, memang banyak orang yang tidak peduli dengan "work-life balance" karena lebih mengejar gaji
(tinggi) dan kemajuan karier, lebih-lebih pada saat pasar tenaga kerja sedang buruk seperti saat ini. Namun, dia
mengingatkan, tak sedikit juga yang lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain yang memberikan keseimbangan itu secara
penuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar