Minggu, 23 Januari 2011

7 Hal dari Wanita yang Dianggap Seksi Pria

img

Para wanita kerap menghabiskan banyak uang untuk tampil sempurna demi pasangan mereka. Padahal sebenarnya bukan hanya penampilan Anda yang disukai pria. Ini dia tujuh hal yang dianggap pria seksi dari wanita.

1. Tampil Tanpa Make-Up
Sebagian besar wanita di Amerika menghabiskan US$ 200 setahun untuk membeli make-up. Tujuan membeli make-up tersebut salah satunya untuk menarik perhatian pasangan. Namun ternyata, para pria justru lebih suka wanita yang tampil apa adanya.

Dilansir Red Book, beberapa pria yang sudah menikah menyukai penampilan apa adanya pasangan mereka ketika bangun tidur. Sejumlah pria juga suka saat melihat wanita baru selesai mandi.

2. Perut
Tidak sedikit wanita yang kurang percaya diri karena perut mereka gendut. Beberapa dari wanita berperut tidak langsing ini pun sampai minum obat pelangsing yang bisa jadi membahayakan. Namun tahukan Anda bahwa sebenarnya si dia tidak terlalu peduli dengan bentuk perut tersebut.

Strecth mark yang ada di perut wanita setelah melahirkan juga tidak dianggap masalah oleh pria. Malah strecth mark itu menjadi sebuah statement untuk si wanita kalau dia telah menjadi ibu.

3. Kebiasaan Buruk
Setiap pasangan memiliki kebiasaan buruk, tidak terkecuali Anda. Pada beberapa pria kebiasaan buruk pasangannya itu justru dianggap seksi. Pria suka saat pasangannya menyanyi dengan suara fals atau ketika Anda menggigit kuku.

4. Mata & Bulu Mata
Pria menganggap wanita sangat seksi ketika menatap mereka dari balik bulu matanya. Malah tatapan tersebut bisa membuat pria bergairah.

5. Kaki
Untuk yang satu ini, pria benar-benar tidak terlalu mempedulikan bentuknya seperti apa. Selama Anda menjadi pasangannya, si dia akan menyukai meskipun kaki bentuk, kecil, besar, pendek ataupun panjang.

Para pria menganggap kaki wanita sangat seksi ketika pasangannya menyilangkan atau melepaskan silang kakinya tersebut. Pria-pria juga suka kaki wanita karena biasanya halus tidak seperti kaki mereka.

6. Aroma
Pria-pria selalu merasa aroma pasangan mereka menggairahkan. Meskipun terkadang Anda lupa memakai parfume, mereka tetap bisa menganggap aroma tubuh wanita sangat seksi.

7. Pekerjaan
Pekerjaan Anda bisa jadi salah satu hal yang dianggap seksi pasangan. Si dia suka saat melihat Anda bekerja atau memakai baju kerja Anda. Pria bisa tiba-tiba bergairah saat melihat Anda tengah serius mengetik di laptop atau ketika Anda tengah bicara serius soal pekerjaan.



Senin, 05 April 2010

Perusahaan Mengecek Facebook Pelamar Kerja




Hampir separo (45%) perusahaan di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka kini memanfaatkan situs-situs
jaringan sosial di internet untuk menggali informasi tentang orang yang melamar kerja. Angka tersebut meningkat
dari survei-surveri sebelumnya.
Survei terbaru ini dilakukan oleh lembaga survei Harris Interactive atas pesanan CareerBuilder. Situs jejaring sosial
yang digunakan oleh perusahaan untuk mengecek calon karyawan bermacam-macam, dari Facebook (29%),
LinkedIn (26%) hingga MySpace (21%).
Selebihnya ditemukan bahwa 11% perusahaan melakukan searching blog untuk mengetahui lebih jauh mengenai
pelamar mereka, dan 7% mem-follow kandidat yang bersangkutan di Twitter.
Dilihat dari segi jenis industrinya, perusahaan yang paling banyak melakukan pengecekan online terhadap kandidat
karyawan mereka adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang Teknologi Informasi (63%) dan Professional &
Business Services (53%).
Alasan Penolakan
Lalu, apa yang terjadi setelah perusahaan mengecek Facebook calon karyawannya? Dilaporkan, 35%
mempertimbangkan isi Facebook kandidat sebagai alasan untuk menolak lamaran mereka.
Jika dirinci, inilah contoh penolakan perusahaan terhadap kandidat berdasarkan informasi dari jaringan sosial:
-- 53% perusahaan yang disurvei menolak kandidat karena mereka mem-posting foto-foto dan informasi yang dinilai
provokatif dan tidak sopan.
-- 44% tidak meloloskan calon karyawan karena yang bersangkutan adalah seorang "peminum" dan pemakai obatobatan
terlarang.
-- 35% menolak kandidat karena mereka menjelek-njelekkan perusahaan, teman kerja dan klien sebelumnya di
media-media sosial.
-- 29% mendiskualifikasi kandidat karena dia mengesankan seorang yang payah dalam keterampilan berkomunikasi
-- 26% memulangkan kandidat karena komentar-komentarnya di jejaring sosial menyerang orang lain.
-- 24% menolak calon karyawan karena dia menuliskan data-data bohong.
-- 20% memutuskan tak jadi meng-hire kandidat karena dia mengungkapkan sesuatu yang rahasia mengenai
perusahaan tempat kerja sebelumnya.
Hati-hati
Para pelamar kerja juga harus berhati-hati dalam berkomunikasi online dengan pihak perusahaan, karena
penggunaan emoticon dan bahasa SMS (penulisan kata yang disingkat-singkat) dalam email lamaran kerja bisa
memberi kesan buruk bagi pimpinan perusahaan.
VP HR pada CareerBuilder Rosemary Heafner mengingatkan bahwa jejaring sosial merupakan sarana yang bagus
untuk terhubung dengan kesempatan-kesempatan kerja, dan untuk mempromosikan personal brand melalui
internet.
"Pastikan bahwa Anda memanfaatkan sumber daya ini untuk mendapatkan keuntungan dengan menciptakan image
profesional dan memperlihatkan kualifikasi Anda,"pesan dia.

Manajer Perlu Lebih "Demokratis" untuk Tingkatkan Engagement Karyawan




Demokrasi tak hanya diperlukan untuk mengelola negara, tapi juga perusahaan. Jika perusahaan Anda memiliki
struktur manajemen yang mirip militer, sebaiknya segara ditinggalkan dan menggantikannya dengan demokratisasi
ketenagakerjaan.
Menurut studi yang dilakukan University of Glamorgan, rahasia untuk meningkatkan engagement karyawan terletak
pada struktur organisasi yang demokratis.
Paul Thomas dari universitas tersebut percaya melihat, banyak perusahaan yang masih dikendalikan dengan modelmodel
manajemen yang bersifat hierarkis ala militer. Menurut dia, memangkas struktur yang semacam itu dan lebih
mengedepankan demokrasi dalam mengelola karyawan bisa meningkatkan engagement dan produktivitas.
"Karyawan perlu diberi kepercaaan dan diperdayakan," ujar Thomas seraya mengingatkan, model-model lama
semakin tidak relevan dan perusahaan yang menciptakan lingkungan baru akan meraih sukses yang lebih besar.
Tapi, untuk bisa mewujudkan itu, Thomas berpesan, para manajer harus rela melepaskan "kekuasaan" kontrol
mereka. "Perlu keberanian bagi seseorang di posisi manajemen untuk bisa melakukan itu," kata dia. Padahal, dalam
hemat Thomas, kebanyakan manajer tidak memiliki kontrol yang sesungguhnya.
Kontrol yang sebenarnya, kata dia, justru terletak pada karyawan sendiri.
Sebelumnya, sebuah sruvei terbaru dari lembaga konsultan Hay menemukan bahwa dua-pertiga manajer justru
menciptakan lingkungan kerja yang negatif yang membuat karyawan merasa kesal dan frustrasi.
Survei juga menemukan, struktur, proses dan prosedur manajemen yang terlalu ketat lebih sering menghambat
munculnya inisiatif-inisiatif dari karyawan, dan mempersulit pemecahan masalah.

Minggu, 28 Maret 2010

Betapa Pentingnya Hidup yang Seimbang...



Impian kaum profesional untuk menikmati keseimbangan yang lebih besar antara dunia kerja dan kehidupan pribadi
berantakan. Gara-gara krisis keuangan global, para pemimpin perusahaan memberikan tekanan kepada karyawan untuk
bekerja lebih lama dan lebih keras.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Association of Graduate Recruiters (AGR) di Inggris menemukan, separo karyawan dari
Generasi Y mengeluhkan manajer-manajer mereka yang kini mulai "melecutkan cambuk lebih keras". Akibatnya, mereka
merasa kurang memiliki waktu untuk kehidupan pribadi dan mempertimbangkan untuk keluar dari perusahaan.
Dari temuan tersebut, asosiasi menyerukan kepada segenap manajer untuk menahan diri dari buru-buru menciptakan "budaya
sengsara" dalam organisasi. Sebab, dalam jangka panjang hal itu bisa membuat para karyawan mencari kesempatan kerja di
tempat lain sesegera mungkin mereka bisa melakukannya.
Chief Executive pada AGR Carl Gilleard menegaskan, "Ketika banyak organisasi berada di bawah tekanan krisis finansial, salah
satu tantangan terbesar adalah tetap memberikan atau meniadakan pendekatan keseimbangan antara hidup dan kerja bagi
karyawan."
Survei terpisah yang dilakukan di Amerika Serikat sebulan sebelumnya menyimpulkan bahwa dalam kondisi krisis seperti saat
ini, karyawan bukannya terdorong untuk mempertahankan posisinya dalam perusahaan dan bekerja lebih keras. Melainkan,
sebaliknya, situasi yang sulit menurunkan tingkat loyalitas dan kepercayaan mereka pada perusahaan.
Oleh karenanya disarankan, seiring dengan kebijakan penambahan jam kerja, stres akan datang dan itu artinya para manajer
harus menjaga semangat dan motivasi para karyawan, khususnya jajaran top performer.
"Bagaimana pun, generasi lulusan baru sekarang ini tidak pernah mengalami situasi krisis ekonomi. Sehingga kebijakan
perusahaan yang diambil dalam iklim ekonomi sekarang harus mempertimbangkan kedua sisi, baik pengusaha maupun
angkatan kerja baru tersebut," ujar Gilleard.
Lebih jauh, laporan hasil penelitian tersebut mengidentifikasi adanya tiga tipe angkatan kerja Generasi Y. Pertama dan
terbanyak adalah kelompok "work hard, play hard", yang mendefinisikan "work-life balance" sebagai pemisahan yang tegas
antara kerja dan kehidupan mereka di luar pekerjaan. Mereka mementingkan perhitungan jam kerja yang jelas.
Kedua, kelompok yang disebut "worried and weary", yang melihat konsep "work-life balance" sebagai "selisih" antara jam
kerja dan kehidupan di rumah. Mereka sebenarnya tidak bekerja lebih dari jam normal, namun stres di kantor mempengaruhi
kehidupan di luar kerja. Mereka kebanyakan perempuan.
Ketiga, disebut kelompok "willing workaholics", yang mendominasi karakter kaum pekerja Gen Y terutama mereka yang lahir
setelah tahun 1982. Kelompok ini tidak masalah jika harus bekerja lebih keras dan dalam waktu yang lebih panjang, sejauh
masih memiliki pilihan dan kontrol untuk memutuskan bagiaman mengatur waktu mereka.
Gilleard mengungkapkan, memang banyak orang yang tidak peduli dengan "work-life balance" karena lebih mengejar gaji
(tinggi) dan kemajuan karier, lebih-lebih pada saat pasar tenaga kerja sedang buruk seperti saat ini. Namun, dia
mengingatkan, tak sedikit juga yang lebih memilih untuk mencari pekerjaan lain yang memberikan keseimbangan itu secara
penuh.

Sabtu, 27 Maret 2010

Waspada kalau anda seorang pemimpin...baca yang satu ini!




Kita semua pasti ingin menjadi orang yang disukai. Tapi, para manajer yang menghabiskan waktu terlalu banyak untuk
menjadi populer dan akrab dengan anggota tim mereka, bisa menuai malapetaka.
Sebuah riset yang dilakukan lembaga konsultasi manajemen Hay Group menyimpulkan, para manajer yang menempatkan
terlalu banyak perhatian dalam hubungan dengan tim, berrisiko pada rusaknya produktivitas dan kinerja.
Studi dilakukan atas 20 tim kepemimpinan eksekutif pada perusahaan-perusahaan Fortune 500. Analisis difokuskan pada
nilai-nilai yang dipegang oleh pimpinan tim dan anggotanya, dan pengaruh mereka terhadap kinerja tim.
Ditemukan bahwa tim-tim yang anggota-anggotanya saling bergantung dan bekerja berdasarkan tujuan bersama cenderung
perform dengan lebih efektif.
Kebalikannya, tim-tim yang tak lebih sebagai sekumpulan individu-individu menghasilkan kinerja yang lebih lemah, meskipun
anggota-anggotanya terdiri orang-orang yang berbakat atau berpengalaman.
Tim eksekutif yang menunjukkan kinerja tinggi lebih cenderung menjunjung nilai-nilai pada "manusianya" dan hubunganhubungan
(antaranggota) dalam tim.
􁪽Disimpulkan juga satu hal yang menurut Hay sangat krusial, yakni para pemimpin yang diposisikan pada tingkat-tingkat
afiliasi yang tinggi, cenderung kurang bisa menciptakan tim yang efektivitasnya tinggi.
Eksekutif-eksekutif yang afiliasinya terlalu tinggi gagal untuk mengindari favoritisme dan kecil kecenderungannya untuk
membuat keputusan-keputusan yang tidak populer, demikian pendapat dari hasil riset itu.
Mereka juga lebih kecil kecenderungannya untuk mengeluarkan orang dari tim yang sebenarnya sudah berukuran optimal.
Atau, mencegah perilaku yang tidak cukup kondusif bagi penyelesaian tugas atau pencapain hasil.
Mencoba mengkait-kaitkan dengan momen Valentine saat ini, Associate Director pada Hay Group Chris Watkin mengatakan,
"Pesan bagi para pemimpin bisnis senior: jangan berlebihan dalam cinta."
"Riset kami memperlihatkan bahwa terlalu banyak menekankan pada hubungan-hubungan dan popularitas bisa merusak
produktivitas tim," tambah dia. Diingatkan juga, terlalu banyak afiliasi di tingkat tinggi akan menguragi efektivitas.
"Para pemimpin menjadi terlalu sibuk me-maintain popularitas dan hubungan-hubungan yang baik, dan gagal melihat adanya
kinerja yang rendah, juga gagal membuat keputusan-keputusan yang tepat," ujar dia.
Akhirnya, Watkin menyarankan, "Untuk memaksimalkan kinerja, para pemimpin harus bertanya pada diri mereka sendiri,
apakah hubungan-hubungan (yang) saya (ciptakan) mendukung tercapainya, atau justru membelokkan, tujuan tim?"

Facebook BOLEH atau TIDAK..???




Hampir separo (45%) perusahaan di Amerika Serikat mengatakan bahwa mereka kini memanfaatkan situs-situs
jaringan sosial di internet untuk menggali informasi tentang orang yang melamar kerja. Angka tersebut meningkat
dari survei-surveri sebelumnya.
Survei terbaru ini dilakukan oleh lembaga survei Harris Interactive atas pesanan CareerBuilder. Situs jejaring sosial
yang digunakan oleh perusahaan untuk mengecek calon karyawan bermacam-macam, dari Facebook (29%),
LinkedIn (26%) hingga MySpace (21%).
Selebihnya ditemukan bahwa 11% perusahaan melakukan searching blog untuk mengetahui lebih jauh mengenai
pelamar mereka, dan 7% mem-follow kandidat yang bersangkutan di Twitter.
Dilihat dari segi jenis industrinya, perusahaan yang paling banyak melakukan pengecekan online terhadap kandidat
karyawan mereka adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang Teknologi Informasi (63%) dan Professional &
Business Services (53%).
Alasan Penolakan
Lalu, apa yang terjadi setelah perusahaan mengecek Facebook calon karyawannya? Dilaporkan, 35%
mempertimbangkan isi Facebook kandidat sebagai alasan untuk menolak lamaran mereka.
Jika dirinci, inilah contoh penolakan perusahaan terhadap kandidat berdasarkan informasi dari jaringan sosial:
-- 53% perusahaan yang disurvei menolak kandidat karena mereka mem-posting foto-foto dan informasi yang dinilai
provokatif dan tidak sopan.
-- 44% tidak meloloskan calon karyawan karena yang bersangkutan adalah seorang "peminum" dan pemakai obatobatan
terlarang.
-- 35% menolak kandidat karena mereka menjelek-njelekkan perusahaan, teman kerja dan klien sebelumnya di
media-media sosial.
-- 29% mendiskualifikasi kandidat karena dia mengesankan seorang yang payah dalam keterampilan berkomunikasi
-- 26% memulangkan kandidat karena komentar-komentarnya di jejaring sosial menyerang orang lain.
-- 24% menolak calon karyawan karena dia menuliskan data-data bohong.
-- 20% memutuskan tak jadi meng-hire kandidat karena dia mengungkapkan sesuatu yang rahasia mengenai
perusahaan tempat kerja sebelumnya.
Hati-hati
Para pelamar kerja juga harus berhati-hati dalam berkomunikasi online dengan pihak perusahaan, karena
penggunaan emoticon dan bahasa SMS (penulisan kata yang disingkat-singkat) dalam email lamaran kerja bisa
memberi kesan buruk bagi pimpinan perusahaan.
VP HR pada CareerBuilder Rosemary Heafner mengingatkan bahwa jejaring sosial merupakan sarana yang bagus
untuk terhubung dengan kesempatan-kesempatan kerja, dan untuk mempromosikan personal brand melalui
internet.
"Pastikan bahwa Anda memanfaatkan sumber daya ini untuk mendapatkan keuntungan dengan menciptakan image
profesional dan memperlihatkan kualifikasi Anda,"pesan dia.

Pimpinan Perlu Lebih "Demokratis"



Demokrasi tak hanya diperlukan untuk mengelola negara, tapi juga perusahaan. Jika perusahaan Anda memiliki
struktur manajemen yang mirip militer, sebaiknya segara ditinggalkan dan menggantikannya dengan demokratisasi
ketenagakerjaan.
Menurut studi yang dilakukan University of Glamorgan, rahasia untuk meningkatkan engagement karyawan terletak
pada struktur organisasi yang demokratis.
Paul Thomas dari universitas tersebut percaya melihat, banyak perusahaan yang masih dikendalikan dengan modelmodel
manajemen yang bersifat hierarkis ala militer. Menurut dia, memangkas struktur yang semacam itu dan lebih
mengedepankan demokrasi dalam mengelola karyawan bisa meningkatkan engagement dan produktivitas.
"Karyawan perlu diberi kepercaaan dan diperdayakan," ujar Thomas seraya mengingatkan, model-model lama
semakin tidak relevan dan perusahaan yang menciptakan lingkungan baru akan meraih sukses yang lebih besar.
Tapi, untuk bisa mewujudkan itu, Thomas berpesan, para manajer harus rela melepaskan "kekuasaan" kontrol
mereka. "Perlu keberanian bagi seseorang di posisi manajemen untuk bisa melakukan itu," kata dia. Padahal, dalam
hemat Thomas, kebanyakan manajer tidak memiliki kontrol yang sesungguhnya.
Kontrol yang sebenarnya, kata dia, justru terletak pada karyawan sendiri.
Sebelumnya, sebuah sruvei terbaru dari lembaga konsultan Hay menemukan bahwa dua-pertiga manajer justru
menciptakan lingkungan kerja yang negatif yang membuat karyawan merasa kesal dan frustrasi.
Survei juga menemukan, struktur, proses dan prosedur manajemen yang terlalu ketat lebih sering menghambat
munculnya inisiatif-inisiatif dari karyawan, dan mempersulit pemecahan masalah.